Monday, 30 July 2018

Kegiatan Kongres VII
Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT)
27&28 Juli 2018, Hotel Four Point Sheraton Makassar





Wednesday, 18 July 2018

Bersama mentor kesayangan & rekan2 PPAT






 My Office, My Palace


Tuesday, 17 July 2018


 Pembebasan hak dan Pelepasan hak
Apa yang dimaksud dengan pembebasan hak dan pelepasan hak ? dan siapa yang berwenang untuk membuat akta pelepasan hak tersebut, dan jelaskan dasar hukumnya ?
Pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum yang semula diantara pemegang hak/menguasai tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Kedua perbuatan hukum di atas mempunyai pengertian yang sama, perbedaannya pembebasan hak atas tanah adalah dilihat dari yang membutuhkan tanah, biasanya dilakukan untuk areal tanah yang luas, sedangkan pelepasan hak atas tanah dilihat dari yang memiliki tanah, dimana ia melepaskan haknya kepada Negara untuk kepentingan pihak lain.
Pelepasan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah merupakan 2 (dua) cara untuk memperoleh tanah hak, dimana yang membutuhkan tanah tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah.
Pelepasan hak atas tanah dilaksanakan apabila subyek yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan pemegang hak atas tanah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya.
Pelepasan hak milik atas tanah dapat dilakukan dengan akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh pemegang haknya, secara notariil atau bawah tangan, yaitu dengan:
1. akta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan melepaskan hak atas tanah, atau 
2)  surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak atas tanah  yang dibuat di depan dan disaksikan oleh Camat letak tanah yang bersangkutan, atau 
3) surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak atas tanah yang dibuat di depan dan disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan setempat.
Dasar hukumnya bisa dilihat dalam Pasal 131 ayat 3 PMNA/Ka BPN No. 3 tahun 1997 , dimana disebutkan bahwa Pelepasan Hak atas tanah dilakukan  dengan :
1. Dengan Akta Notaris ;
2. Dibuat dihadapan Camat dimana tanah tersebut berada ;
3. Dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat.
(UN).


akta SKMHT

Bolehkan Pemegang Hak Atas tanah memberi kuasa kepada seseorang dalam bentuk akta notaril untuk menanda-tangani akta SKMHT, artinya SKMHT dalam komparisinya beradasarkan Surat Kuasa yang dibuat dihadapan notaris? 
Menurut pendapat saya tidak boleh…. 
Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT) menyebutkan SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan :
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan;
2. Tidak memuat kuasa substitusi ;
3. mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang, nama dan identitas kreditornya, serta nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi hak tanggungan.
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih. 
Kuasa yang demikian dikenal dengan sebutan kuasa khusus.

Pemberian kuasa dapat pula diberikan secara umum yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa atau kuasa umum atau kuasa luas.
Menurut Pasal 15 ayat 1 UUHT SKMHT tidak dapat dibuat dalam suatu kuasa umum, tetapi haruslah dibuat dalam suatu kuasa khusus.

Pasal 15 ayat (1) UUHT menyebutkan juga bahwa SKMHT wajib dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta PPAT.
(UN).


AKTA NOTARIS YANG DIBUAT SECARA SIRKULER

Merupakan realitas dalam praktek Notaris dan PPAT yang tidak dapat dipungkiri lagi sering (mungkin ada juga yang tidak pernah melakukan) terjadi para penghadap tidak menghadap Notaris/PPAT pada saat yang bersamaan. 
Contohnya :  Notaris/PPAT yang menangani akta-akta perbankan pernah mengalaminya, misalnya :  Kepala/Pimpinan Cabang (atau yang ditunjuk oleh Bank tidak menghadap) tapi akta ditandatangan/dibacakan oleh Notaris di hadapan Debitur dan saksi-saksi. Sudah alasan tidak datang dan tanda tangan pada waktu yang sama ada berbagai alasan, yang tidak dapat dinormatifkan (dipastikan) satu persatu, tapi hal seperti ini merupakan kebijakan Notaris/PPAT yang bersangkutan. 
Sehingga dalam hal ini apakah yang dilakukan oleh Notaris/PPAT terlarang untuk dilakukan atau sesuatu yang tidak dilarang sepanjang ada lasannya ?
Pernah juga ada kejadian Notaris dilaporkan oleh salah satu pihak yang namanya tersebut dalam akta, bahwa dirinya tidak menghadap pada jam/pukul yang tersebut dalam awal akta, tapi menghadap 4 (empat) jam kemudian dari penghadap sebelumnya. 
Memang sengketa tersebut awalnya tidak berkaitan dari akta Notaris, tapi karena salah satu pihak ada yang merasa dirugikan dari substansi akta yang dikehendaki oleh para penghadap sendiri. 
Tapi akhirnya merambat dan merembet ke prosedur pembuatan akta.  Dan pihak yang melaporkan kepada yang berwajib tersebut, bisa membuktikan bahwa dirinya pada jam/pukul yang tersebut dalam awal akta tidak menghadap. Tapi yang menghadap tersebut penghadap yang awal/pertama datang. Hal ini kelihatannya sepele, tapi bisa membuat  Notaris panas-dingin. 
Sebagai bahan perbandingan ; Dalam Rapat Umum Perseroan Terbatas (RUPS) pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan :
- Berita Acara Rapat (BAR) dengan akta Relaas Notaris.
- Dibuat dibawah tangan kemudian dinyatakan secara Notaris – dalam bentuk akta pihak (partij) – PKR (Pernyataan Keputusan Rapat)
- Dilakukan secara Sirkuler.
Bahwa RUPS yang dilakukan secara Sirkuler mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan akta Berita Acara Rapat, sehingga tidak perlu ditegaskan atau dimintakan secara PKR.
Dalam Pasal 91 UU PT  bahwa RUPS dapat dilakukan mengambil Keputusan yang mengikat diluar RUPS. Keputusan RUPS seperti ini disebut pula KEPUTUSAN SIRCULER atau biasa juga disebut KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR RUPS.                          

Dalam Keputusan Sirkuler tidak ada  forum rapat ; 
Yang ada adalah : suatu keputusan yang dituangkan secara tertulis. Di dalam keputusan sirkuler, para pemegang saham dianggap telah saling berkomunikasi dan atas apa yang dituangkan dalam keputusan. Hanya karena alasan teknis saja, kemudian mereka (pemegang saham) memilih untuk tidak mengadakan Rapat.
Keputusannya sendiri tidak diambil dalam satu forum rapat, tapi agendanya sudah diketahui / direncanakan serta  disetujui sebelumnya oleh seluruh pemegang saham. 
Keputusannya sendiri diedarkan kepada seluruh pemegang saham untuk ditandatangani (memberi persetujuan secara formal), dan tanggal  terakhir penanda tangannya dinyatakan sebagai tanggal efektif keputusan sirkuler tersebut.
Keputusan tersebut hanya dapat diambil dengan syarat semua pemegang saham yang mempunyai hak suara menyetujuinya secara tertulis.
 Dalam prakteknya, sebelum dilaksanakannya pembuatan keputusan sirkuler, para pemegang saham biasanya telah melakukan komunikasi intensif perihal apa saja yang perlu diputuskan. 
Hasil komunikasi dan keputusan yang telah dibuat kemudian dituangkan dalam “Keputusan Para Pemegang Saham”. Keputusan Para Pemegang Saham tersebut kemudian wajib ditandatangani oleh seluruh pemegang saham.               
Jadi untuk dapat diberlakukannya Keputusan Sirkuler tersebut, syarat yang harus dipenuhi adalah :  Persetujuan dari 100% para pemegang saham Perseroan. Dengan demikian, maka quorum kehadiran tidak diperlukan.
Bahwa KEPUTUSAN SIRKULER atau biasa juga disebut KEPUTUSAN PEMEGANG SAHAM DILUAR RUPS pada intinya : 
Dibuat secara dibawah tangan dengan memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan sebelumnya. 
Dengan mempergunakan istilah yang sama yaitu SIRKULER ;  Apakah bisa untuk akta Notaris dibuat secara SIRKULER dengan arti /pengertian yang berbeda yaitu :
1. Para penghadap tidak dapat datang pada saat yang sama yang telah ditentukan. 
Dan Notaris mengizinkan untuk melakukan pembacaan dan penanda tanganan kepada penghadap yang datang terlebih dahulu.
2. Tindakan para penghadap yang disebutkan dalam akta dan tidak bersama-sama tersebut terlebih dahulu telah disepakati dan dikonfirmasikan  oleh para penghadap sendiri.
3. Akta Notaris Sirkuler ini dibuat pada hari dan tanggal yang sama, hanya jam / pukul yang menghadap berbeda/tidak bersamaan. 
Jika berbeda hari dan tanggal akan berbenturan dengan akta yang dibuat pada hari dan tanggal berikutnya.
4. Pembacaan dan Penandatanganan tersebut tetap dilakukan di hadapan Notaris.
5. Akta Notaris yang Sirkuler untuk substansi (isi) 
akta yang sudah pasti yang tidak mungkin dilakukan perubahan lagi. Jika penghadap yang datang berikutnya ingin mengubah, maka harus ada konfirmasi kepada penghadap yang lainnya. 
Jika tidak dikonfirmasikan tidak perlu dibuat akta tersebut.  
6. Akta Notaris yang Sirkuler hanya untuk Akta Pihak (Partij) saja.
 Untuk menampung realitas sebagaimana tersebut di atas, adakah UUJN/UUJN-P memberikan ketentuan telah mengaturnya ?
Uraian / tulisan saya dibawah ini sudah tentu akan menimbulkan perdebatan, dengan alasan :
1. UUJN / UUJN-P 
(terutama Pasal 38 tentang bentuk Akta) sebagai ketentuan yang memaksa yang harus diikuti apa adanya.
2. Memberikan penafsiran terhadap Pasal 38 UUJN-P bahwa ada peluang dan payung hukum akta Notaris bisa dibuat secara Sirkuler dengan batasan sebagaimana tersebut di atas.
 Pasal 38 UUJN – P mengatur mengenai bentuk akta Notaris yang terdiri dari :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.

(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a.    judul akta;
b.    nomor akta;
c.    jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. 

(3) Badan akta memuat :
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d. Nama    lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta jika ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian serta jumlah perubahannya.

(5) Akta Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.
Bahwa Pasal 38 UUJN – P tersebut terutama pada Awal akta (pencantuman jam/pukul) menghadap dan akhir akta, pembuatan Akta Notaris secara Sirkuler bisa dilakukan masih dalam koridor ketentuan Pasal 38 UUJN – P.

Jika akan dibuat akta Notaris secara Sirkuler tidak perlu merubah apapun pada pada awal akta, penyebutan jam / pukul merupakan waktu saat menghadap untuk penghadap yang pertama datang menghadap, sedangkan penghadap lainnya yang menghadap kemudian akan disebutkan pada bagian akhir akta.
 Bahwa pembuatan akta Sirkuler tersebut harus pula disebutkan sebagai kesepakatan para penghadap sehingga pada akhir premisse atau sebelum memasuki isi akta perlu dituliskan kalimat :
- Para Penghadap telah saling sepakat dan mengkonfirmasikan bahwa dalam pembuatan akta ini tidak datang secara bersama-sama ke hadapan Notaris, dan kesepakatan serta konfirmasi tersebut menjadi tanggungjawab penghadap sepenuhnya.
Pada Akhir atau Penutup akta disebutkan/diuraikan sebagai berikut :
---------------------------------------- DEMIKIAN AKTA INI ------------------------------------------
-Dibuat dan diselesaikan di _______________ dengan dihadiri oleh :-------------------
1. ______________________________----------------------------------------------------------
2._______________________________---------------------------------------------------------
-keduanya pegawai kantor Notaris sebagai saksi-saksi.--------------------------------------
-Setelah saya, Notaris membacakan akta ini kepada penghadap------------------------ (-para penghadap) :-------------------------------------------------------------------------------------
1. Tuan _____________, pada pukul ____________ WI______.--------------------------
2. Tuan _____________, pada pukul ____________ WI______.--------------------------
3. Tuan _____________, pada pukul ____________ WI ______.-------------------------
dan para saksi, maka kemudian penghadap 
(-para penghadap),   menandatangani akta ini sesuai dengan waktu (pukul/jam) urutan tersebut, para saksi dan saya Notaris.-----------------------------------------------------------------------------------------------------
-Dibuat dengan ______________________-----------------------------------------------------
-Minuta akta ini telah ditanda tangani dengan lengkap.---------------------------------------
-Diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya.----------------------------------------------

UNTUK NOTARIS YANG BIASA MELAKUKAN TINDAKAN TERSEBUT DI ATAS DALAM MENJALANKAN TUGAS JABATANNYA, TIDAK PERLU KEBERATAN ATAU MEMBANTAH URAIAN INI, DAN JUGA JANGAN BERANGGAPAN MERASA AMAN SAJA DENGAN YANG DILAKUKAN SEPERTI ITU SELAMA INI, DUNIA KENOTARIATAN TERUS MAJU DAN BERKEMBANG YANG TIDAK PERNAH TERPIKIRKAN OLEH PARA NOTARIS, SEKARANG INI SEPERTI TERSEBUT DI ATAS BISA TERJADI. MARI KITA CARI SOLUSI YANG TERBAIK.
Uraian di atas hanya merupakan pendapat / opini yang perlu dieksplorasi dan diekploitasi – 
( HBA - INC )


Kegiatan Penandatanganan Akta Pembuatan CV 






Inilah PP No. 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik





Oleh: Humas ; Diposkan pada: 2 Jul 2018 

Dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha, pemerintah memandang perlu menerapkan pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik.
Atas dasar pertimbangan tersebut, pada 21 Juni 2018, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. (tautan: PP 24 2018 OSS dan Lampiran HVS)
Ditegaskan dalam PP ini, jenis Perizinan Berusaha terdiri atas: a. Izin Usaha; dan b. Izin Komersial atau Operasional. Sementara pemohon Perizinan Berusaha terdiri atas: a. Pelaku Usaha perseorangan; dan b. Pelaku Usaha non perseorangan.
Perizinan Berusaha, menurut PP ini, diterbitkan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, termasuk Perizinan Berusaha yang kewenangan penerbitannya telah dilimpahkan atau didelegasikan kepada pejabat lainnya.
“Pelaksanaan kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud, termasuk penerbitan dokuman lain yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha wajib dilakukan melalui Lembaga OSS,” bunyi Pasal 19 PP ini.
Lembaga OSS berdasarkan ketentuan PP ini, untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota menerbitkan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud, dalam bentuk Dokumen Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik.
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud disertai dengan Tanda Tangan Elektronik, yang berlaku sah dan mengikat berdasarkan hukum serta merupakan alat bukti yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dapat dicetak (print out).

Pelaksanaan Perizinan Berusaha
 Menurut PP ini, Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran untuk kegiatan  berusaha dengan cara mengakses laman OSS.
 Dalam hal Pelaku Usaha merupakan perseorangan pendaftaran dilakukan  dengan cara memasukkan NIK (Nomor Induk Kependudukan); nomor pengesahan akta pendirian atau nomor pendaftaran PT, yayasan/badan usaha yang didirikan oleh yayasan, koperasi, persekutuan komenditer, persekutuan firma, persekutuan perdata;  dasar hukum pembentukan perusahaan umum, perusahaan umum daerah, badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, lembaga penyiaran publik, atau badan layanan umum.
 Selanjutnya, setelah mendapatkan akses dalam laman OSS mengisi data yang ditentukan. “Dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan Pendaftaran sebagaimana dimaksud belum memiliki NPWP. OSS memproses pemberian NPWP,” bunyi Pasal 23 PP ini.
 Selanjutnya, Lembaga OSS menerbitkan NIB (Nomor Induk Berusaha) setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran melalui pengisian data secara lengkap dan mendapatkan NPWP. NIB berbentuk 13 (tiga belas) digit angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan Tanda Tangan Elektronik.
Menurut PP ini, NIB merupakan identitas berusaha dan digunakan oleh Pelaku Usaha untuk mendapatkan Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional, termasuk untuk pemenuhan persyaratan Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional.
“NIB sebagaimana dimaksud berlaku juga sebagai: a. TDP (Tanda Daftar Perusahaan) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang tanda daftar perusahaan; b. API (Angka Pengenal Impor) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan; dan c. Hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan,” bunyi Pasal 26 PP ini.
 Ditegaskan dalam PP ini, Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB sekaligus terdaftar sebagai peserta jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.
 Dalam hal Pelaku Usaha akan mempekerjakan tenaga kerja asing, menurut PP ini, Pelaku Usaha mengajukan pengesahan RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing), dengan mengisi data pada laman OSS. Selanjutnya sistem OSS memproses pengesahan RPTKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pengesahan RPTKA itu merupakan izin mempekerjakan tenaga kerja asing.
 Ditegaskan dalam PP ini, Izin Usaha wajib dimiliki oleh Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB, dan Lembaga OSS menerbitkan Izin Usaha berdasarkan Komitken kepada: a. Pelaku Usaha yang tidak memerlukan prasarana untuk menjalkan usaha dan/atau kegiatan; dan b. Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan telah memiliki atau menguasai prasarana sebagaimana dimaksud.
 “Lembaga OSS menerbitkan Izin Usaha berdasarkan Komitmen  kepada Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan tapi belum memiliki atau menguasai prasarana setelah Lembaga OSS menerbitkan: a. Izin Lokasi; b. Izin Lokasi Perairan; c. Izin Lingkungan; dan/atau d. IMB.
 Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, dapat melakukan kegiatan: a. pengadaan tanah; b. perubahan luas lahan; c. pembangunan bangunan gedung dan pengoperasiannya; d. pengadaan peralatan atau sarana; e. pengadaan sumber daya manusia; f. penyelesaian sertifikasi atau kelaikan; g. pelayanan uji coba produksi; dan/atau h. pelaksanaan produksi.
Sementara Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha namun belum menyelesaikan: a. Amdal; dan/atau b. rencana teknis bangunan gedung, menurut PP ini, belum dapat melakukan kegiatan pembangunan bangunan gedung.
 Dalam PP ini disebutkan, Lembaga OSS menerbitkan Izin Komersial atau Operasional berdasarkan Komitmen untuk memenuhi: a. standar, sertifikat, dan/atau lisensi; dan/atau b. pendaftaran barang/jasa sesuai dengan jenis produk dan/atau jasa yang dikomersialkan oleh Pelaku Usah melalui sistem OSS.
 “Lembaga OSS membatalkan Izin Usaha yang sudah diterbitkan  dalam hal Pelaku Usaha tidak menyelesaikan pemenuhan Komitmen dan/atau Izin Komersial atau Operasional,” bunyi Pasal 40 PP ini.
Ditegaskan dalam PP ini, Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional berlaku efektif setelah Pelaku Usaha menyelesaikan Komitmen dan melakukan pembayaran biaya Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Pemenuhan Komitmen yang diatur dalam PP ini meliputi Izin Lokasi, Izin Lokasi Perairan, Izin Lingkungan, dan/atau Izin Mendirikan Bangunan.

Lembaga OSS
 Ditegaskan dalam PP ini, Lembaga OSS berwenang untuk: a. menerbitkan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS; b. menetapkan kebijakan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS; c. menetapkan petunjuk pelaksanaan penerbitan Perizinan Berusaha pada sistem OSS; d. Mengelola  dan mengembangkan sistem OSS; dan e. Bekerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan sistem OSS.
 “Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan berkoordinasi dengan menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/wali kota, difasilitasi oleh menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian,” bunyi Pasal 94 ayat (2,3) PP ini.
 Dalam ketentuan peralihan disebutkan, Perizinan Berusaha yang telah diajukan oleh Pelaku Usaha sebelum berlakunya PP ini, diproses melalui sistem OSS sesuai dengan ketentuan PP ini.
“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 107 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 21 Juni 2018. (Pusdatin/ES)

Attachment :
1. PP 24 Tahun 2018

Thursday, 5 July 2018

Foto-Foto Kegiatan Pengukuran Tanah Bersama Petugas Ukur BPN di atas lahan Daerah Curug, Kabupaten Bogor